Jumat, 03 April 2009

D@R! eM@!L....Tentang kehidupan...

Cinta yg tak pernah padam selama 60 tahun

Ketika aku berjalan kaki pulang ke rumah di suatu hari yang dingin, kakiku
tersandung sebuah dompet yang tampaknya terjatuh tanpa sepengetahuan
pemiliknya. Aku memungut dan melihat isi dompet itu kalau-kalau aku bisa
menghubungi pemiliknya. Tapi, dompet itu hanya berisi uang sejumlah tiga
Dollar dan selembar surat kusut yang sepertinya sudah bertahun-tahun
tersimpan di dalamnya. Satu-satunya yang tertera pada amplop surat itu
adalah alamat si pengirim. Aku membuka isinya sambil berharap bisa
menemukan
petunjuk.

Lalu aku baca tahun "1924". Ternyata surat itu ditulis lebih dari 60 tahun
yang lalu. Surat itu ditulis dengan tulisan tangan yang anggun di atas
kertas biru lembut yang berhiaskan bunga-bunga kecil di sudut kirinya.
Tertulis di sana, "Sayangku Michael", yang menunjukkan kepada siapa surat
itu ditulis yang ternyata bernama Michael. Penulis surat itu menyatakan
bahwa ia tidak bisa bertemu dengannya lagi karena ibu telah melarangnya.
Tapi, meski begitu ia masih tetap mencintainya. Surat itu ditandatangani
oleh Hannah. Surat itu begitu indah.

Tetapi tetap saja aku tidak bisa menemukan siapa nama pemilik dompet itu.
Mungkin bila aku menelepon bagian penerangan mereka bisa memberitahu nomor
telepon alamat yang ada pada amplop itu.
"Operator," kataku pada bagian peneragan, "Saya mempunyai permintaan yang
agak tidak biasa. sedang berusaha mencari tahu pemiliki dompet yang saya
temukan di jalan. Barangkali anda bisa membantu saya memberikan nomor
telepon atas alamat yang ada pada surat yang saya temukan dalam dompet
tersebut?"

Operator itu menyarankan agar aku berbicara dengan atasannya, yang
tampaknya
tidak begitu suka dengan pekerjaan tambahan ini. Kemudian ia berkata, "Kami
mempunyai nomor telepon alamat tersebut, namun kami tidak bisa
memberitahukannya pada anda." Demi kesopanan, katanya, ia akan menghubungi
nomor tersebut, menjelaskan apa yang saya temukan dan menanyakan apakah
mereka berkenan untuk berbicara denganku. Aku menunggu beberapa menit.

Tak berapa lama ia menghubungiku, katanya, "Ada orang yang ingin berbicara
dengan anda." Lalu aku tanyakan pada wanita yang ada di ujung telepon sana,
apakah ia
mengetahui seseorang bernama Hannah.
Ia menarik nafas, "Oh, kami membeli rumah ini dari keluarga yang memiliki
anak perempuan bernama Hannah. Tapi, itu 30 tahun yang lalu!"
"Apakah anda tahu dimana keluarga itu berada sekarang?" tanyaku.
"Yang aku ingat, Hannah telah menitipkan ibunya di sebuah panti jompo
beberapa tahun lalu," kata wanita itu. "Mungkin, bila anda menghubunginya
mereka bisa mencaritahu dimana anak mereka, Hannah, berada."
Lalu ia memberiku nama panti jompo tersebut. Ketika aku menelepon ke sana,
mereka mengatakan bahwa wanita, ibu Hannah, yang aku maksud sudah lama
meninggal dunia. Tapi mereka masih menyimpan nomor telepon rumah dimana
anak wanita itu tinggal. Aku mengucapkan terima kasih dan menelepon nomor
yang mereka berikan. Kemudian, di ujung telepon sana, seorang wanita
mengatakan bahwa Hannah sekarang tinggal di sebuah panti jompo.

"Semua ini tampaknya konyol," kataku pada diriku sendiri. Mengapa pula aku
mau repot-repot menemukan pemilik dompet yang hanya berisi tiga Dollar dan
surat yang ditulis lebih dari 60 tahun yang lalu?
Tapi, bagaimana pun aku menelepon panti jompo tempat Hannah sekarang
berada.
Seorang pria yang menerima teleponku mengatakan, "Ya, Hannah memang tinggal
bersama kami."
Meski waktu itu sudah menunjukkan pukul 10 malam, aku meminta agar bisa
menemui Hannah.
"Ok," kata pria itu agak bersungut-sungut, "bila anda mau, mungkin ia
sekarang sedang menonton TV di ruang tengah."

Aku mengucapkan terima kasih dan segera berkendara ke panti jompo tersebut.
Gedung panti jompo itu sangat besar. Penjaga dan perawat yang berdinas
malam
menyambutku di pintu. Lalu, kami naik ke lantai tiga. Di ruang tengah,
perawat itu memperkenalkan aku dengan Hannah. Ia tampak manis, rambut
ubannya keperak-perakan, senyumnya hangat dan matanya bersinar-sinar. Aku
menceritakan padanya mengenai dompet yang aku temukan. Aku pun menunjukkan
padanya surat yang ditulisnya. Ketika ia melihat amplop surat berwarna biru
lembut dengan bunga-bunga kecil di sudut kiri, ia menarik nafas dalam-dalam
dan berkata, "Anak muda, surat ini adalah hubunganku yang terakhir dengan
Michael." Matanya memandang jauh, merenung dalam-dalam. Katanya dengan
lembut, "Aku amat-amat mencintainya. Saat itu aku baru
berusia 16 tahun, dan ibuku menganggap aku masih terlalu kecil. Oh, Ia
sangat tampan. Ia seperti Sean Connery, si aktor itu." "Ya," lanjutnya.
Michael Goldstein adalah pria yang luar biasa. "Bila kau bertemu dengannya,
katakan bahwa aku selalu memikirkannya, Dan,......."
Ia ragu untuk melanjutkan, sambil menggigit bibir ia berkata,
"......katakan, aku masih mencintainya. Tahukah kau, anak muda," katanya
sambil tersenyum. Kini air matanya mengalir, "aku tidak pernah menikah
selama ini. Aku pikir, tak ada seorang pun yang bisa menyamai Michael."
Aku berterima kasih pada Hannah dan mengucapkan selamat tinggal. Aku
menuruni tangga ke lantai bawah. Ketika melangkah keluar pintu, penjaga di
sana menyapa, "Apakah wanita tua itu bisa membantu anda?"
Aku sampaikan bahwa Hannah hanya memberikan sebuah petunjuk, "Aku hanya
mendapatkan nama belakang pemilik dompet ini. Aku pikir, aku biarkan
sajalah
dompet ini untuk sejenak. Aku sudah menghabiskan hampir seluruh
hariku untuk menemukan pemilik dompet ini."
Aku keluarkan dompet itu, dompat kulit dengan benang merah disisi-sisinya.
Ketika penjaga itu melihatnya, ia berseru, "Hei, tunggu dulu. Itu adalah
dompet Pak Goldstein! Aku tahu persis dompet dengan benang merah terang
itu.
Ia selalu kehilangan dompet itu. Aku sendiri pernah menemukannya dompet itu
tiga kali di dalam gedung ini."

"Siapakah Pak Goldstein itu?" tanyaku. Tanganku mulai gemetar. "Ia adalah
penghuni lama gedung ini. Ia tinggal di lantai delapan. Aku tahu pasti, itu
adalah dompet Mike Goldstein. Ia pasti menjatuhkannya ketika sedang
berjalan-jalan di luar."
Aku berterima kasih pada penjaga itu dan segera lari ke kantor perawat. Aku
ceritakan pada perawat di sana apa yang telah dikatakan oleh si penjaga.
Lalu, kami kembali ke tangga dan bergegas ke lantai delapan. Aku berharap
Pak Goldstein masih belum tertidur. Ketika sampai di lantai delapan,
perawat
berkata, "Aku pikir ia masih berada di ruang tengah. Ia suka membaca di
malam hari. Ia adalah Pak tua yang menyenangkan."
Kami menuju ke satu-satunya ruangan yang lampunya masih menyala. Di sana
duduklah seorang pria membaca buku.
Perawat mendekati pria itu dan menanyakan apakah ia telah kehilangan
dompet.
Pak Goldstein memandang dengan terkejut. Ia lalu meraba saku belakangnya
dan
berkata, "Oh ya, dompetku hilang!" Perawat itu berkata, "Tuan muda yang
baik
ini telah menemukan sebuah
dompet. Mungkin dompet anda?"
Aku menyerahkan dompet itu pada Pak Goldstein.
Ia tersenyum gembira. Katanya, "Ya, ini dompetku! Pasti terjatuh tadi sore.
Aku akan memberimu hadiah."
"Ah tak usah," kataku. "Tapi aku harus menceritakan sesuatu pada anda. Aku
telah membaca surat yang ada di dalam dompet itu dengan harap aku
mengetahui
siapakah pemilik dompet ini."

Senyumnya langsung menghilang. "Kamu membaca surat ini?"
"Bukan hanya membaca, aku kira aku tahu dimana Hannah sekarang." Wajahnya
tiba-tiba pucat. "Hannah? Kau tahu dimana ia sekarang? Bagaimana kabarnya?
Apakah ia masih secantik dulu? Katakan, katakan padaku," ia memohon.
"Ia baik-baik saja, dan masih tetap secantik seperti saat anda
mengenalnya,"
kataku lembut. Lelaki tua itu tersenyum dan meminta, "Maukah anda
mengatakan
padaku dimana ia sekarang? Aku akan meneleponnya esok." Ia menggenggam
tanganku, "Tahukah kau anak muda, aku masih mencintainya. Dan saat surat
itu
datang hidupku terasa berhenti. Aku belum pernah menikah, aku selalu
mencintainya."

"Michael," kataku, "Ayo ikuti aku." Lalu kami menuruni tangga ke lantai
tiga. Lorong-lorong gedung itu sudah gelap. Hanya satu atau dua lampu kecil
menyala menerangi jalan kami menuju ruang tengah di mana Hannah masih duduk
sendiri menonton TV. Perawat mendekatinya perlahan.

"Hannah," kata perawat itu lembut. Ia menunjuk ke arah Michael yang sedang
berdiri di sampingku di pintu masuk.
"Apakah anda tahu pria ini?" Hannah membetulkan kacamatanya, melihat
sejenak, dan terdiam tidak
mengucapkan sepatah katapun.
Michael berkata pelan, hampir-hampir berbisik, "Hannah, ini aku, Michael.
Apakah kau masih ingat padaku?"
Hannah gemetar, "Michael! Aku tak percaya. Michael! Kau! Michaelku!"
Michael
berjalan perlahan ke arah Hannah. Mereka lalu berpelukan.
Perawat dan aku meninggalkan mereka dengan air mata menitik di wajah kami.
"Lihatlah," kataku. "Lihatlah, bagaimana Tuhan berkehendak. Bila Ia
berkehendak, maka jadilah."

Sekitar tiga minggu kemudian, di kantor aku mendapat telepon dari rumah
panti jompo itu.
"Apakah anda berkenan untuk hadir di sebuah pesta perkawinan di hari Minggu
mendatang? Michael dan Hannah akan menikah!" Dan pernikahan itu, pernikahan
yang indah. Semua orang di panti jompo itu mengenakan pakaian terbaik
mereka
untuk ikut merayakan pesta.
Hannah mengenakan pakaian abu-abu terang dan tampak cantik. Sedangkan
Michael mengenakan jas hitam dan berdiri tegak. Mereka menjadikan aku
sebagai wali mereka.
Rumah panti jompo memberi hadiah kamar bagi mereka.

Dan bila anda ingin melihat bagaimana sepasang pengantin berusia 76 dan 79
tahun bertingkah seperti anak remaja, anda harus melihat pernikahan
pasangan
ini. Akhir yang sempurna dari sebuah hubungan cinta yang tak pernah padam
selama 60 tahun.

1 komentar: